Salah kaprah soal Agile

Salah Kaprah soal Agile

Seiring pertumbuhan bisnis baru di sektor teknologi digital, konsep agile development semakin ramai diperbincangkan. Istilah ini dinilai punya prestise tinggi. Kata agile dibuat sebagai label yang memperlihatkan kualitas individu, organisasi, dan bisnis atau perusahaan. Metodologi agile pun tidak hanya dipakai untuk pengembangan software, namun juga menjadi kerangka atau sistem manajemen sebuah organisasi.

Sayang, kenyataannya sebagian orang masih setengah hati memahami bahkan menerapkan konsep agile. Akibatnya, produk atau layanan kurang berkualitas, dan konsumen pun tidak banyak mendapat manfaat dari produk atau layanan yang diberikan. Joshua Partogi, editor manajemen modern mencontohkan beberapa praktik penerapan agile yang masih salah kaprah. Misalnya anggapan yang menyatakan bahwa sistem bisnisnya agile, tapi faktanya request perubahan terjadi hampir setiap hari. 

Agile seakan dipakai sepihak oleh klien untuk menuruti berbagai requirement yang berubah-ubah, namun nilai proyeknya harus tetap sama. Jika kita kroscek ulang, pemahaman keliru soal agile disini tentu merugikan software developer. Mereka akan mengerjakan tiap permintaan perubahan hingga lembur tidak karuan. Sementara di sisi lain, proyek yang dikerjakannya tidak punya visi jelas dan nilai kontraknya tetap.

Mengutip dari Dave Snowden, Joshua mengelompokkan masalah menjadi 5 tipe. Masing-masing diantaranya simple, complicated, complex, chaotic dan disordered. Jadi, menurutnya proyek yang cenderung berubah-ubah tanpa kejelasan visi mengenai produk dari sisi bisnis itu bukanlah disebut agile, melainkan chaos. Ya chaos diartikan sebagai permasalahan yang tidak punya kepastian. Untuk itu, mulailah berhenti menyebut proyek chaos sebagai agile. Karena itu hanya merugikan tim dan finansial perusahaan. 

Contoh salah kaprah lain soal agile, perusahaan mengklaim sistem kerjanya agile, tapi faktanya pimpinan perusahaan tertutup dengan ide bottom-up collective intelligence. Ini mirip pepatah bos selalu benar. Bisa dibayangkan budaya kerja seperti apa yang tercipta dengan tipe pemimpin yang otoriter dan tidak mau memberdayakan tim?

Jika semua pekerjaan menggunakan model top-down alias selalu didikte oleh atasan, bisa dipastikan tidak ada revolusi berpikir yang diadopsi dari konsep agile. Seperti kita tahu bahwa agile menekankan kolaborasi dan collective intelligence, dan ini bertolak belakang dengan model kerja tradisional yang cenderung political power driven. 

Intinya sih bukan perkara ingin terlihat keren atau takut dibilang kudet, goal kita mengadopsi nilai dan prinsip agile adalah agar kita terbiasa dengan mindset serta etos kerja keras (hard work) dan penuh totalitas (give the best), sehingga menghasilkan inovasi produk/layanan berkualitas yang bisa dirasakan orang banyak. 

Mundur ke belakang, konsep agile development pertama kali dikenalkan oleh Kent Beck pada tahun 2001 silam. Saat itu, Kent bersama 17 software developer sedang merumuskan strategi pengembangan sebuah proyek IT yang efisien, cepat, dan punya nilai jual tinggi di pasaran. Hingga akhirnya Kent dan rekan berhasil merumuskan 12 prinsip yang kita sebut dengan agile manifesto.

Konsep agile development berkembang menjadi sebuah metodologi dalam pembuatan sekaligus pengembangan software. Di dunia IT, kita menyebutnya dengan istilah agile software development. Sebenarnya dalam pembuatan software, ada beberapa metodologi yang digunakan tim developer, salah satunya metode tertua, yaitu waterfall.

Namun seiring kemunculan agile software development pada tahun 2001, proses pengembangan software tidak perlu lagi memakan waktu terlalu lama dan biaya tinggi. Alasan lain, agile software development dinilai lebih fleksibel, hasilnya sesuai dengan kemauan dan ekspektasi user, dan risiko kegagalan dalam manajemen juga lebih sedikit.  

Add a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *