What, why and how to be agile?

What, Why and How to be Agile?

Menyambung artikel sebelumnya tentang salah kaprah soal agile, artikel kali ini akan menjabarkan apa, mengapa, dan bagaimana menjadi agile baik untuk skala individu juga lingkup organisasi. Belakangan kata agile punya prestise tinggi di mata masyarakat, terutama bagi mereka yang berkecimpung di industri teknologi khususnya software developer. 

Sayangnya, sebagian masih salah memahami sekaligus menerapkan nilai dan prinsip agile ke dalam sistem kerja organisasi atau perusahaan. Akibatnya, produk/layanan yang dihasilkan tidak berkualitas dan belum cukup memberikan manfaat bagi masyarakat. Lantas, apa sebenarnya definisi agile? Dan mengapa individu atau perusahaan perlu mengadopsi nilai ini?

Agile sebenarnya revolusi ‘pola pikir’ dan ‘perilaku’. Agile berkembang dengan cakupan luas menjadi sekumpulan metode, prinsip, dan kerangka kerja manajerial mulai dari tim hingga manajemen inovasi. Lean Startup, Scrum, Holacracy, Design Thinking, keempatnya menerapkan konsep agile dalam kerangka kerjanya.

Perusahaan teknologi dunia mengadopsi agile dalam sistem manajemen. Sebut saja Google, raksasa teknologi yang mengolah ide design thinking hingga menciptakan bingkai kerja design sprint. Hasilnya, mereka mampu menemukan desain software yang product-market-fit. 

Contoh lain, agile bicara tentang manajemen operasional internal. Medium.com dan Zappos adalah perusahaan berbasis teknologi yang mengadopsi agile dalam merestrukturisasi organisasi yang lebih cair lewat holacracy. Keduanya tumbuh menjadi organisasi besar yang tetap jauh dari birokrasi, politik, dan gerakan lamban. 

Melansir dari laman agilecampus.org (6/4), penulis menceritakan pengalamannya saat boarding di Changi Airport, Singapura. Penulis terkesan dengan bagaimana Changi terus mempertahankan kualitas lewat optimasi kepuasan pelanggan. Bukan sekedar melakukan data survey, Changi juga mengimbanginya dengan perbaikan nyata yang terus menerus mereka lakukan.

Pihak bandara menyadari kapabilitas dan potensi mereka (self-aware), sehingga bisa terus menemukan ide perbaikan yang akan diterapkan (proactive). Efek penerapan perbaikan pada persepsi pengunjung terus dipantau (empathetic), dan jadi data untuk pengambilan keputusan di iterasi berikutnya kebiasaan bagus dilanjutkan, sementara yang jelek akan segera diganti.

How to be Agile?

Jawabannya mulailah dari hal mendasar, yaitu mindset. Pola pikir menentukan value sekaligus prinsip, lalu dia menggerakkan perilaku. Perilaku yang dilakukan berulang dan kerja keras akan membantu kita menemukan passion. INGAT! mengganti bungkus tanpa mengubah isinya itu BUKAN agile. Move, don’t idle, Be Agile, Just do your best, as best as you can, and the passion will follow you, kata Yusuf Kurniawan.

Melihat perkembangan dunia yang semakin modern dan canggih, kita perlu merevolusi cara berpikir dan kebiasaan agile. Dalam konteks organisasi, terutama abad 21 ini, kita dituntut untuk lebih kreatif dan inovatif. Dan itu didapat dari kecakapan kolaborasi, berpikir kritis, dan komunikasi. 3 soft skill itulah yang diperlukan industri untuk bisa agile dan sustainable di era disruptif ini.

Salah kaprah soal Agile

Salah Kaprah soal Agile

Seiring pertumbuhan bisnis baru di sektor teknologi digital, konsep agile development semakin ramai diperbincangkan. Istilah ini dinilai punya prestise tinggi. Kata agile dibuat sebagai label yang memperlihatkan kualitas individu, organisasi, dan bisnis atau perusahaan. Metodologi agile pun tidak hanya dipakai untuk pengembangan software, namun juga menjadi kerangka atau sistem manajemen sebuah organisasi.

Sayang, kenyataannya sebagian orang masih setengah hati memahami bahkan menerapkan konsep agile. Akibatnya, produk atau layanan kurang berkualitas, dan konsumen pun tidak banyak mendapat manfaat dari produk atau layanan yang diberikan. Joshua Partogi, editor manajemen modern mencontohkan beberapa praktik penerapan agile yang masih salah kaprah. Misalnya anggapan yang menyatakan bahwa sistem bisnisnya agile, tapi faktanya request perubahan terjadi hampir setiap hari. 

Agile seakan dipakai sepihak oleh klien untuk menuruti berbagai requirement yang berubah-ubah, namun nilai proyeknya harus tetap sama. Jika kita kroscek ulang, pemahaman keliru soal agile disini tentu merugikan software developer. Mereka akan mengerjakan tiap permintaan perubahan hingga lembur tidak karuan. Sementara di sisi lain, proyek yang dikerjakannya tidak punya visi jelas dan nilai kontraknya tetap.

Mengutip dari Dave Snowden, Joshua mengelompokkan masalah menjadi 5 tipe. Masing-masing diantaranya simple, complicated, complex, chaotic dan disordered. Jadi, menurutnya proyek yang cenderung berubah-ubah tanpa kejelasan visi mengenai produk dari sisi bisnis itu bukanlah disebut agile, melainkan chaos. Ya chaos diartikan sebagai permasalahan yang tidak punya kepastian. Untuk itu, mulailah berhenti menyebut proyek chaos sebagai agile. Karena itu hanya merugikan tim dan finansial perusahaan. 

Contoh salah kaprah lain soal agile, perusahaan mengklaim sistem kerjanya agile, tapi faktanya pimpinan perusahaan tertutup dengan ide bottom-up collective intelligence. Ini mirip pepatah bos selalu benar. Bisa dibayangkan budaya kerja seperti apa yang tercipta dengan tipe pemimpin yang otoriter dan tidak mau memberdayakan tim?

Jika semua pekerjaan menggunakan model top-down alias selalu didikte oleh atasan, bisa dipastikan tidak ada revolusi berpikir yang diadopsi dari konsep agile. Seperti kita tahu bahwa agile menekankan kolaborasi dan collective intelligence, dan ini bertolak belakang dengan model kerja tradisional yang cenderung political power driven.  Continue Reading